Friday, January 22, 2016

Rindu Candu

Aku hampir mati termakan rindu.
Rasa tercabik didada bertalu kelabu.
Logika berteriak untuk tetap tak mengadu pada sang candu.

Memberi waktu.
Itu yang sebelumnya ia tuntut kepadaku.
Dan hari ini aku duduk terdiam memandang cermin dirumah ibu; berusaha ramah pada keadaan abu-abu.

Bagaimana seseorang dirubah oleh waktu.
Rasa seperti sudah tidak berlaku.
Menghamba dan membabu bukan lagi sesuatu yang baru.

Lagi ia berteriak pada sudut pandangku.
Bila itu yang kukatakan, keadaan menjadi tak terelakkan; aku merasa seperti itu.
Tapi ia tak jua sadar telah berkepala keras seperti batu.
Pun hatiku belum menyerah walau telah lebam membiru.

Tuesday, April 29, 2014

Anak Kecil Itu

Aku memperhatikannya.

Anak kecil itu berlarian di depanku, wajahnya tanpa ekspresi. Berkeliaran seakan tanpa arah.

Anak kecil itu tiba-tiba terjatuh,
Dia tidak menangis selayaknya biasa, ia mengusap lututnya lalu tertawa ke arahku.

Membalikkan wajahnya, berjalan lalu marah pada dirinya sendiri karena terjatuh.

Beberapa saat ia berlari lagi; tanpa arah.

Anak kecil itu berdiri di depanku, wajahnya bulat, matanya bulat menatapku. Mencium bibirku.

Anak kecil itu tiba-tiba terbatuk,
Dia tidak mengeluh selayaknya biasa, ia mengusap dadanya lalu tertawa kearahku.

Membalikkan wajahnya, berjalan lalu menyemangati dirinya sendiri yang sedang rapuh.

Beberapa saat ia berlari lagi; tanpa arah.

Anak kecil itu menertawaiku, bibirnya merah, pipinya merah, ia tertawa walau tampak marah.

Anak kecil itu tiba-tiba menangis,
Dia menangis dan mengeluh dengan luar biasa, menjambak rambutnya dan terkulai dihadapanku.

Aku diam, ia marah bila kubantu.

Sengguknya yang tertahan, pendaman makian. Semua tertahan memuncak dalam hati tak muncul di hadapan.

Hanya sesak yang dapat kurasakan dari kejauhan.

Anak itu..........

..........mati perlahan.

Sunday, January 19, 2014

CRASH

Gadis itu terkulai diatas tempat tidurnya. Hatinya luluh lantak. Matanya kosong tak bercahaya. Buliran-buliran air tak hentinya mengalir dari sepasang mata kecilnya.

Pikirannya mengawang. Tubuhnya lemas tak dapat ia gerakkan.

Semburat kekecewaan yang dalam terlukis diwajah pucatnya.

Beberapa hari ini terganggu pikirannya. Keadaan keluarganya tak stabil.

Kerinduannya akan kasih sayang, seakan menjadi puncaknya malam ini.

Kepura-pura tegarannya runtuh sudah. Kekuatan dan kedewasaannya yang ia kumpulkan sekian lama seakan tak bersisa. Hilang ditelan hujatan-hujatan untuk ibunya dalam semalam.

Jarak yang coba ia bangun untuk mendapatkan perspektif orang ketiga ternyata tidak cukup membuatnya berlaku adil, mengurangi kekecewaan atas keluarganya.

Kedewasaan yang ia tanamkan di pikirannya tak cukup mampu membuatnya lapang dada menerima keadaan.

Matanya kini terpejam, berusaha tertidur melupakan sakit. Berharap nanti ketika terbangun, keadaan kembali seperti semula. Disaat ia kecil, disaat keluarganya masih baik-baik saja.

Pejamnya tak mengobati. Pikirannya terusik, jauh fokus pada hujatan untuk ibunya. Hujatan yang keluar dari mulut ayahnya sendiri.

Betapa permasalahan bertambah keruh ketika orang yang bukan bagian turut ikut mengaduk luka.

Dadanya sesak, bersusah payah menahan tangis agar tak meledak.

Giginya ia katupkan sekeras ia bisa. Berusaha menguatkan hatinya yang penuh luka.

Bayangan keluarganya yang dulu bahagia berkelebat. Nafasnya mulai tersengal. Teriakannya tertahan giginya yang mengatup. Tubuhnya bergetar hebat. Bulir air matanya makin deras mengalir.
Lelah hatinya menahan perih keadaan dan berpura tegar, berdiri menguatkan banyak orang.

Gadis itu tak peduli lagi. Ia hanya ing
in menangis sepuasnya.

Tuesday, January 7, 2014

Tersesat Kanan Kiri

Taulah saya seorang gadis muda meski sudah tak gadis.

Saya berada diantara dua gaya hidup yang sangat berbeda.

Sebutlah satu sisi kanan dan satu sisi kiri.

Sisi kanan kehidupan normal yang nyaman adanya. Penuh dengan pergaulan 'modern'. Penuh dengan teman dan pesta.

Saya tidak pernah menutup pergaulan saya. Menjaga; iya. Saya berusaha menyerap semampu saya semua pelajaran yang ada dilingkungan.

Pada awalnya otak saya sebagai gadis muda masih dipenuhi oleh kenikmatan.

Saya lebih suka keluar diatas jam 8 malam. Mencari keramaian, menikmati hingar bingar. Pergi ke club malam menikmati kebebasan pergaulan.

Itu ketika saya memilih untuk menikmati. Tapi..

Ada kalanya saya muak pada diri saya sendiri. Entah mengapa merasa gelisah.

Teman yang selalu diajak berpesta belum tentu datang seperti yang diharapkan saat berduka.

Jenuh adalah sebuah pilihan.

Saya tipikal orang yang mudah datang, mudah pergi, dan mudah kembali untuk pergi lagi.

Suka dengan pergaulan baru, dan mencoba untuk tidak terlalu lama hanya berada pada satu pergaulan.
Entah kenapa; hanya saja menurut saya semakin lama saya berdiam pada suatu pergaulan, semakin sering bersama, semakin dekat hingga terlalu dekat, akan semakin banyak masalah yang timbul. Ada saja yang menurut saya salah atau kurang; saya (cukup) egois dalam hal tersebut.
Kekurangan atau kesalahan tersebut akan saya cari kebenarannya dipergaulan yang lain. Begitu terus siklusnya.

(Siklus itu juga yang membuat saya merasa kesepian, karena merasa hanya memiliki banyak teman yang belum menjadi sahabat...yang saya sadar itu adalah kesalahan saya sendiri)

Kali ini saya ingin yang lain. Entah mungkin hati saya terpanggil atau hanya bosan dengan pergaulan biasa. Atau juga butuh sesuatu yang ekstrem untuk menghilangkan kejenuhan dari pergaulan sebelumnya.

Dan tibalah saya pada pergaulan kiri radikal, pergaulan yang berbanding terbalik dengan pergaulan kanan. Saya juga belum tahu pasti karena baru saja memulai.

Yang pasti di pergaulan kiri ini orang-orang sangat kritis terhadap sesuatu.

Mereka memiliki rasa empati yang besar terhadap 'keprihatinan'. Yang kurang dapat saya temukan pada pergaulan kanan.

(Sebenarnya pergaulan kanan pun memiliki rasa simpati terhadap sesuatu hanya saja masih jauh lebih mementingkan pribadi atau golongan, lebih individualistis.)
Pergaulan kiri ini memilih untuk lebih berpihak pada suara minoritas, pada rakyat kecil atau orang susah, dan mencoba hidup sederhana melawan kemewahan yang ditawarkan dunia.

Bila diumpamakan, pergaulan kiri seperti tangan kiri yang biasa digunakan untuk membersihkan hal kotor. Seperti membersihkan anus sehabis buang air besar; pekerjaan kotor, yang sebenarnya dilakukan demi kebaikan (kebersihan).

Begitu juga orang-orang dipergaulan kiri ini, menentang jalan normal untuk membersihkan kekotoran-kekotoran penguasa rakus..

Sebenarnya pergaulan kiri sudah pernah saya masuki ketika bertemu dengan para seniman. Hanya saja para seniman menunjukkan ke 'kiri'an mereka melalui karya abstrak yang tidak terlalu terlihat.

Sedangkan beberapa orang yang saya kenal saat ini adalah tipe radikal, yang menyuarakan kegelisahannya secara terang-terangan; aktivis.

Untuk seniman sendiri masih lebih mudah karena mereka tidak mencoba menjejali saya dengan sesuatu.

Mereka lebih suka menunjukan suatu keindahan (artistik) yang walaupun keindahan tersebut menyakitkan.

Dan keindahan lebih mudah diterima oleh orang seperti saya.

Berbeda dengan pergaulan kiri radikal ini.

Disini saya mencoba memutar kehidupan saya. Menjadi lebih sabar, mencoba mendengarkan penjelasan panjang lebar.

Ilmu politik, sosial, budaya, sejarah, antropologi, ekonomi rakyat dan berbagai macam.

Yang dulunya saya tak mau sentuh tak mau peduli dengan terpaksa harus saya mulai jamahi.

Pembicaraan mereka hampir semua tidak saya mengerti kecuali soal kerusakan lingkungan dan pendidikan anak.

Saya disarankan untuk membaca buku-buku tebal peneliti besar.

Saya bersabar mendengarkan diskusi-diskusi panjang lebar, yang memaksa saya duduk diam sampai pantat terasa ber-akar.

(Ada kalanya kepala saya terasa sakit, otak saya rasanya mau pecah, saking penuhnya pelajaran yang mereka berikan.)

Proses.

Saya tidak lantas mau mengikuti semuanya. Karena saya kaget dan masih merasa curiga.

Awalnya saya masuk karena penasaran pada suatu issue. Saya mencoba datang untuk mendengarkan beberapa penjelasan.

Yang anehnya walau dijelaskan berjam-jam saya belum bosan dan malah semakin penasaran.

Saya jadi semakin sering datang bertandang. Hanya untuk mendengarkan.

Sampai dirumah saya ingat kembali, saya coba cermati dan amati. Mencari info-info yang bisa saya dapat.

Dan akhirnya saya terjerumus dalam aksi radikal mereka.

Bukan tanpa alasan bukan tanpa pengetahuan. Tapi secara sadar.

Ada resiko besar di depan mata. Tapi perubahan yang terjadi di diri saya lebih besar, lebih mampu melahap ketakutan saya terhadap resiko tersebut.

Hampir satu minggu diawal perkenalan saya menginap di tempat mereka.

Hanya mendengarkan mereka berbicara beberapa hari saja ternyata membuat hati saya bergejolak entah kenapa.

Saya semakin penasaran.

Saya mencoba mulai membaca satu buku yang disarankan. Ternyata memang buku untuk pemula.

Hanya satu hari saya habiskan.

Buku itu semacam komik sejarah tentang perjuangan Che Guevara memimpin revolusi.

Saya semakin menggebu-gebu. Ada perubahan sudut pandang.

Proses masih berlangsung.

Saya mulai mencari tahu tentang apa yang mereka bicarakan.

Mulai aktif bertanya. Dan itu cukup membantu.

Efeknya; saya jadi semakin ingin tahu.

Semakin saya tahu, semakin saya merasa bodoh.

Kemana saja saya selama ini sampai tidak mengetahui hal-hal g(p)enting seperti itu?

Sempat beberapa kali sharing tentang keadaan pemerintahan, dan saya shock. Perasaan marah dan sedih menjadi satu. Entah hanya sensitif atau emosi menghadapi kenyataan yang jauh lebih mengerikan dari yang diberitakan media.

Saya bukannya menerima semua pembicaraan orang-orang pergaulan kiri ini secara mentah-mentah. Tapi saya telah coba buktikan sendiri.

Dan bahkan media sendiri kadang berulah, membuat saya kecewa.

Memutar balikkan fakta yang ada.

Lebih kecewa lagi ketika tau; media besar yang dipercaya rakyat ternyata dapat dibungkam demi kepentingan pribadi/golongan penguasa.

Mungkin sudah banyak orang yang tau pemutar balikkan fakta ini.

Yang saya heran, kenapa orang-orang yang lebih dulu tau ini tidak bergerak melawan? Hanya pasrah pada keadaan?

Atau malah... sudah dibungkam juga?

Saya terlalu penasaran.

Saya mencoba tetap berpikir seimbang.

Akhirnya saya mendapati musuh terlalu besar dan berkuasa. Terlalu beresiko untuk dilawan sendirian.

Saya kembali ke pergaulan kanan, mencoba membagi apa yang saya dapat dari teman-teman kiri.

Ketika kembali ke pergaulan kanan, belum masuk ke pembicaraan pokok, saya sudah merasa ada jarak diantara saya dan teman-teman pergaulan kanan yang dulu sangat dekat dengan saya.

Disini saya sadar, saya mulai berubah.

Tidak mudah untuk menyampaikan apa yang saya dapat dari pergaulan kiri ke pergaulan kanan.

Butuh proses.

Dan saya mendapati kebiasaan ketika seseorang merasa lebih tau ia akan menggebu-gebu dan sulit sekali mengontrol perasaan tersebut untuk bisa menyampaikan sesuatu tanpa menimbulkan rasa kontra berlebihan.

Saya terlalu emosi saat menyampaikan apa yang saya dapat, saya kesal karena mereka tak kunjung mengerti, tak kunjung sadar.

Dan kembali saya merasa bodoh.

Mengapa saya menggunakan emosi saat berbicara dan berdiskusi? Padahal saya adalah alumnus sekolah komunikasi. Saya merasa konyol.

Kembali saya belajar.

Untung saja teman-teman pergaulan kanan akhirnya bisa lebih sabar menghadapi saya yang sedang penuh gejolak.

Mereka akhirnya mau mengerti dan sependapat. Hanya saja belum berani untuk melawan secara langsung.

Menurut mereka; "setiap orang punya cara masing-masing untuk melawan"

Saya tidak menuntut lebih, karena tujuan saya memang hanya sekedar membuat mereka tau. Membuat mereka mengerti.

Dengan kembalinya saya ke pergaulan kanan saya sadar ada jarak yang lebar diantara pergaulan kanan dan pergaulan kiri.

Susah sekali mengkomunikasikan secara sederhana sesuatu yang menggebu-gebu dan mengerikan.

(Yang saya tau untuk diri saya sendiri saya belum mau menyerah dan saya masih harus terus mencoba.)

Saya kembali ke pergaulan kiri untuk mendengarkan diskusi dengan keadaan sadar dengan segala kekurangan saya.

Banyak sekali hal yang saya dapati dari mereka. Bukan hal semacam apa, tapi lebih ke kenyataan pada diri saya sendiri.

Misalkan tentang saya yang tidak mengetahui sejarah keluarga saya, yang padahal sejarah tersebut penting untuk mengetahui karakter masing-masing anggota keluarga.

Mereka membuat saya sadar betapa saya tidak peduli terhadap sejarah kecil seperti tersebut yang meskipun kecil tapi telah menjadi kunci permasalahan besar yang selama ini dialami keluarga saya.

Dan parahnya bukan hanya saya, tapi hampir seluruh generasi muda yang mengklaim diri mereka 'modern' dan 'masa kini' menganggap sejarah tidak terlalu penting. Menurut mereka membangun rencana masa depan jauh lebih penting.

Seringkali mereka bercanda dengan berkata; "udah deh, ngapain kamu ngurusin begituan? Mending sekarang kamu usaha aja buat ngerancang masa depan. Lupain masa lalu, tatap masa depan."

Lantas bagaimana kita mau membangun masa depan kalau kita tidak tau sejarah dan karakter bangsa kita sendiri?

Sama seperti dokter; bagaimana caranya seorang dokter bisa mengobati pasien tanpa mengetahui penyakit apa yang diderita oleh pasien tersebut?

Sebagai orang-orang kanan kita pun perlu mengetahui sejarah bangsa sendiri! Sejarah yang sebenarnya terjadi! Bukan yang rekayasa; diciptakan demi kepentingan pribadi atau golongan penguasa!

Tapi pun menurut saya sama bagi pergaulan kiri, mengetahui masa lalu bukan berarti tidak mau mengikuti perkembangan jaman.

Bukan juga berarti harus mengasingkan diri dan tidak berbaur pada pergaulan kanan.

Yang saya pikirkan adalah; kalau orang-orang kiri ini (sebagai yang lebih tau) tidak mau membagi ilmunya kepada orang-orang kanan hanya karena merasa orang-orang kanan tidak sepikiran,tidak mau peduli, itu juga salah.

Bila mereka tidak sepikiran buatlah mereka menjadi sepikiran.

Bila mereka tidak tau, maka buatlah menjadi tau.

Orang-orang kanan hanya tidak tahu, dan mereka butuh diberi tahu.

(Dengan cara mereka, dengan cara yang sederhana. Mereka bukan orang gelisah seperti orang kiri, mereka tidak suka berpikir rumit. Maka beri tahulah dengan cara sederhana, tanpa provokasi, hanya dari hati ke hati.)
Bila mereka tidak tertarik, maka buatlah mereka tertarik.

Sebagai yang lebih tahu, orang-orang kiri berkewajiban membuat tahu orang-orang kanan. Apa pun caranya. Dan tanpa alasan untuk menyerah. Karena tidak ada kata menyerah untuk membuat orang belajar lebih peduli.

Bila terlalu sulit untuk berkomunikasi, mulai dulu dari hal-hal yang menyangkut kepentingan pribadi mereka.

Mulai dari yang sederhana. Ajak mereka untuk merasakan.

Karena nantinya yang membuat sebuah perlawanan kuat adalah keteguhan perasaan.

Akan percuma jika membuat mereka ikut melawan tanpa mengerti keadaan, tanpa bisa merasakan.

Mereka akan mudah dikompori dan diadu domba. Perjuangan akan kembali sia-sia.

Sebab menurut pendapat.

Perasaan empati mereka lah yang akan membuat mereka bergerak; melawan tanpa paksaan.

Perasaan empati mereka lah yang akan membuat mereka tidak mudah di bungkam; meski oleh meriam.

Perasaan empati mereka juga lah yang nantinya akan membuat kita menang; melawan kerakusan dan kebodohan.

Tuesday, September 24, 2013

Tumirah, Seniman Tempat Tidur

"Rasa sakit ini sudah bukan pertama kali. 
Nikmat malam hari tak datang saat pagi. 
Ditiduri bukan jaminan untuk dicintai."

Tumirah dijelajahi tubuhnya, tanpa merasa dicintai.
Ini hanya sebuah pekerjaan baginya. Pekerjaan untuk menyenangkan hati para pembelinya. Pembelinya tidak selalu membayarnya dengan uang. Kebanyakan hanya memberinya cerita dan pujian yang menyenangkan hatinya.

Tumirah masih berterima kasih karena bisa membahagiakan orang dengan tubuhnya.

Tumirah tidak pernah berusaha menghalau sakit. Ia menikmati setiap lukanya. Luka membuatnya belajar arti bahagia. Walau seringkali ia menangis menikmati lukanya.

Ia muda, terlalu muda untuk mengerti banyak hal.

Tumirah memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar pada pembelinya. Pembelinya tak hanya dari kalangan sepantaran, ada juga pejabat bahkan rakyat kecil. 

Ia terlalu mengerti bagaimana seharusnya posisinya. Hanya tak dibiarkannya pembelinya berlalu tanpa memberikannya cerita baru. Murah tidak membuatnya bodoh.
Tumirah pintar memuaskan pembelinya. Dibuatnya pembelinya merasa nyaman padanya dan tanpa sadar menceritakan keluh kesah yang dialaminya pada Tumirah.
Tumirah tidak pernah memberikan satu pun solusi untuk keluh kesah mereka. Tumirah hanya mendengarkan dan menunjukkan ekspresi empati pada seluruh cerita yang ia dengarkan. Itu cukup untuk membuat para pembelinya diperhatikan.
Tak ada pertanyaan yang terlalu spesifik yang keluar dari mulutnya. Memberi tanggapan hanya sekedar "oh ya?" untuk mengimbangi pembicaraan.

Setelah itu Tumirah akan kembali melanjutkan pekerjaannya.

Walaupun mereka hanya membeli Tumirah sekali.
Mereka menganggap Tumirah sebagai persinggahan istimewa mereka. Mereka nyaman saat berada disisi Tumirah. Tumirah pun menganggap mereka selayaknya pasien yang harus disembuhkan luka hatinya.

Tumirah tak masalah ketika mereka harus pergi setelah merasa puas. Bohong kalau dikatakan ia tak sedih. Tapi ia tetap sadar siapa dirinya.

Bagi Tumirah cukup melihat ekspresi bahagia mereka saat pergi. Sudah melegakan hatinya.

Lagi-lagi Tumirah jatuh cinta pada seorang pembelinya. Tapi ia sadar, siapalah dia. Seorang yang tak pantas mendapatkan kebahagiaan untuk wanita kebanyakan; keluarga.

Tumirah hanya persinggahan, bukan rumah utama. Siapa yang mau berlama-lama dirumah persinggahan jika memiliki rumah utama?

Tak ada yang cukup peduli akan perasaan Tumirah.
Bertemu dan mengenal karakter banyak orang bukan berarti membuatnya kebal begitu saja terhadap rasa sedih.

"Jangan tanya saya, saya bukan Tumirah. Saya hanya mencoba membayangkan apa yang dirasakan oleh Tumirah."

Sunday, September 15, 2013

Star Syndrome

Dimata semua orang kami terlihat sibuk berbagi. Pemberontak kecil-kecilan yang memperjuangkan kelayakan orang terpencil. Media mulai mencecar, mencari kebaikan kami untuk dipublikasikan besar-besaran. Tanpa mempedulikan mental kami yang belum siap berada diatas awan. Angin terlalu kencang, belum sampai puncak langkah kami sudah terseok-seok. Bukan dari luar tapi dari dalam. 

 "Semua yang berpondasi lemah pasti akan runtuh". 

Dan itu benar. Mental kami bobrok. Terbawa pencitraan media. Pujian demi pujian lewat di depan mata dan masuk ke telinga. Membuat kami jadi besar kepala. Berbagi yang dulunya dari hati kini sekedar mempertahankan eksistensi. Visi dan misi mulai berubah. Sedikit demi sedikit kami kehilangan jati diri. Orang-orang kini bahkan tidak lagi peduli hati kami, dipandangan mereka kami adalah pejuang. Padahal dikenyataannya kami hanya orang biasa yang sedang tersanjung oleh media. 

Kami butuh hati kami kembali utuh, jangan puji kami berlebihan. Memunculkan ego dan kesombongan. Membuat lupa daratan dan tujuan awal. Sedangkan kami bukan siapa-siapa, umur yang belum seberapa. Mental yang labil ditumpangi sana-sini hanya untuk memperbesar nama. Jika benar ingin berbagi, siapa berani jauhkan media? 

Kami belum siap untuk menjadi terlalu besar dalam sekejap. Raja hutan pun perlu waktu untuk belajar berjalan. Kami hanya manusia, sewaktu bisa lupa diri. Jangan terlalu percaya. Tetap awasi gerak-gerik kami. Karena kami hanya 'anak' dan kalian berperanlah sebagai orang tua yang mendidik dan mengawasi kami. Memarahi jika kami salah, mengusap punggung kami ketika kami lelah. Jangan menggunakan kami berlebihan atau memanjakan kami dengan pujian. Beri kami motivasi maju bukan dengan banyak memuji. Biarkan kami dibawah tanah, burung pun akan lelah bila terus terbang diatas awan. Angin terlalu kencang diatas sana, udara terlalu dingin. Kami belum siap. Biarkan kami hangat menyentuh tanah dan merakyat.

Wednesday, June 26, 2013

Long Distance (and) RelationShit

LDR itu punya makna. Kalo bisa lewatin LDR hubungan kalian selanjutnya (kemungkinan besar) bisa jadi lebih mudah. :) Gacuma LDR sih, hubungan jarak dekat pun harus dilandasin dengan kepercayaan.Tapi ada yang lebih penting dari sekedar percaya sama pasangan. Yaitu, ikhlas dalam menjalani suatu hubungan. Kalo gue jujur, gabisa yang namanya percaya-percaya banget sama satu orang walaupun dia pasangan gue. Karena yang namanya orang pasti pernah KHILAF. :) dan ngecewain pasangannya. Maka dari itu gue bilang. Gaperlu terlalu percaya sama pasangan tapi kalian kudu ikhlas cinta sama dia. Karena kalau kalian terlalu nuntut ini itu sama pasangan, ujung-ujungnya (hampir pasti) bakal kecewa. :) Karena pasangan kalian belum tentu bisa menuhin semua tuntutan kalian.

Dengan kalian ikhlas kalian gabakal terlalu sakit hati. Karena udah tau suatu saat pasti bakal ngalamin. Kalo pasangan kalian bilang bakal setia sampe mati sama kalian. Itu BULLSHIT. Karena toh kalo ada yang cakep lewat pasti bakal noleh juga. :) Kalo ada yang body nya yahud lewat pasti bakal diomongin juga. (diomonginnya engga sama kalian emang, tapi ya ama temen-temennya lah)

Percaya sama pasangan itu cukup 50% aja. Tapi, kalo kalian curiga. Gaperlu ditunjukin. cukup disimpan dalam hati aja. :) Itu ngebantu untuk ngejaga hubungan kalian. Asal pasangan emang bener pantes buat dicintain dengan ikhlas. 

Kalian dengan jelas. Gabisa nuntut pasangan kalian buat nurutin semua yang kalian minta. Ingat. Pasangan kalian punya hidupnya sendiri. :) Meskipun kalian adalah satu pasangan. Kalian tetep 2 individu yang berbeda. Kalian bukan Rexona yang bisa selalu setia setiap saat. 

Sometimes dalam satu hubungan pasti ada yang namanya masa jenuh. Dan itu wajar. Disaat jenuh kalian boleh banget kok ga ketemu dulu ama pasangan. Bahkan kalian boleh cari orang lain buat diajak jalan.  Temen yang gue maksud itu semacam "temen jalan" (re: teman tapi mesra). Biasanya dengan kalian ketemu "temen jalan" kalian bisa sadar bahwa pasangan kalian yang sekarang adalah yang terbaik (atau tidak). Kalian secara sadar atau ga sadar bakal ngebandingin "teman jalan" dengan pasangan kalian yang sekarang. Itu cuma sekedar perbandingan, buat open minded aja. Berdasarkan yang gue alamin dulu sih. Pasangan gue masih yang terbaik dari "temen-temen jalan" yang gue punya dan itu ngebuat gue lebih ngehargain keberadaan dia di hidup gue (lebih cinta banget). Kalopun pasangan gue bukan yang terbaik. Seengganya, udah buat gue sadar dan punya alasan buat nge-akhirin hubungan kami. Intinya kita masih muda. Jangan terlalu serius lah kalo pacaran. Nyobain berbagai karakter orang itu wajar. Dengan kalian mengenal banyak karakter. Tanpa sadar karakter kalian juga makin kuat dan makin dewasa dalam nyikapin masalah apapun termasuk dalam hubungan kalian. Kalo sudah punya karakter kuat dan dewasa dalam nyikapin masalah baru kalian boleh ngejalanin yang namanya hubungan serius. Karena dalam masanya penghargaan seseorang pada sebuah komitmen dalam suatu hubungan, tergantung pada tingkat kematangan karakter dari orang itu sendiri. Sampai pada, kalian sudah cukup matang untuk menikah. :) 

Yang pasti mending main-main dan selingkuh pas pacaran dari pada pas udah nikah kan??